Fb. In. Tw.

Antara Mitos yang Lentur dan Sejarah yang Terpenggal

Mulanya saya menduga novel bikinan pemuda asal Minang ini melulu berisi pertikaian seputar Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) antara orang Minang versus tentara pusat. Tapi dugaan itu melenceng. Novel ini tak sekadar “novel sejarah”. Ia lebih dari itu: dialog antara sejarah kontemporer yang termarginalkan dengan mitos Bundo Kanduang yang penuh dengan peristiwa-peristiwa di luar nalar serta paradoks—persis judul novel ini, Jemput Terbawa.

Di novel ini, pembaca diajak mengikuti perjalanan hidup tokoh utama, Laya, yang tak henti dirundung malang. Tak hanya Laya, Nurselah, ibu Laya, malah mengalami nasib yang lebih buruk: diperkosa seorang tentara pusat tatkala TNI AD pimpinan Ahmad Yani memadamkan “gerakan separatis” PRRI di pedalaman Minangkabau. Mengetengahkan tokoh-tokoh yang terlibat PRRI, terlepas ia tokoh historis atau fiksional, ke dalam kancah kesusastraan nasional zaman kini jelas, selain merupakan pertimbangan politis, juga merupakan “keberpihakan” sosial-kultural sang penulis. Tak populer, namun begitulah seharusnya sastrawan bekerja. Ia bergerak di luar wacana sejarah arus utama.

Tak cuma sejarah yang empiris, oleh penulis, pembaca juga diseret ke dalam kisah tokoh sentral dalam mitologi Minang, Puti Panjang Rambut, yang dalam banyak hal memiliki kemiripan “nasib” dengan Laya. Hanya saja, Laya itu perempuan “normal”, sementara Puti Panjang Rambut itu perempuan “bertuah” alias insan transenden. Di sini, alur bergerak maju-mundur, antara ruang sejarah yang bertarikh linear dengan ruang mitos yang siklus-metafisikal di mana air kelapa gading mampu membuat hamil kaum wanita, termasuk satwa betina.

Di antara bolak-balik alur itu, hadir pula tokoh-tokoh lain dari masa yang lain pula, yakni Dara Petak dan Dara Jingga, dua putri raja Melayu-Dharmasraya, yang salah satunya dipinang oleh Raja Singasari, Kretanegara (namun kemudian dinikahi Raden Wijaya pendiri Majapahit karena Singasari telah hancur begitu mereka tiba di tanah Jawa akibat serangan Mongol). Walau tak sepanjang kisah Laya dan Puti Panjang Rambut, penggalan kisah kedua Dara asal Melayu yang diboyong ke tanah Jawa di abad ke-13 ini membuat horison pembaca makin lebar. Masa lalu yang etik-historis berpagutan dengan masa lalu yang metafisik dan puitik—kadang mengalun, kadang mengombak. Novel ini, dengan begitu, tak lain merupakan bentuk modern dari “cerita berbingkai” yang lazim terdapat dalam khazanah kesusastraan Melayu tempo dulu.

Dalam meracik kisah, Pinto Anugrah cukup pandai memetakan teka-teki dan rahasia di hampir setiap bab, membuat pembaca terus membuka halaman demi halaman novel tanpa jeda. Sejumlah kejutan ia munculkan, seperti: kepura-puraan lumpuhnya Nurselah, hubungan intim antara Mak Ujang dengan Laya, dan kepiawaian tukang kaba dalam “menentukan” takdir para tokohnya. Transisi antara kisah Laya kepada kisah tokoh utama lainnya, yang terbentang oleh jarak berabad-abad, cukup halus, hampir tak terasa, seolah berpindah secara alamiah. Oleh sang penulis, pembaca diajak berpetualang menembus Sungai Kuantan yang di sebuah titiknya berarus sungsang dan mampu menyedot ke perut bumi segala sesuatu yang berani melintasinya, memandang alam Minangkabau yang perawan, bergunung, dan berbukit—pemandangan yang melenakan mata sekaligus mematikan bagi yang berani menantangnya. Di halaman lain, pembaca sama-sama merasa was-was saat Mak Ujang dan Laya dikejar-kejar warga Lembah Pagadih yang tak sudi ketenteraman kampung mereka digangggu oleh kehadiran Laya “si anak jadah”. Pinto Anugrah tahu kapan ia harus bercerita santai, lari tergesa, atau lompat akrobatik demi menyiasati klimaks cerita.

Baca juga:
Perjalanan Mencari Ayam: Tentang Kehilangan 
Potret Buram India

Di atas itu semua, novel ini ingin mengingatkan kita (kembali) betapa pentingnya posisi seorang tukang kaba dalam kebudayaan Minang (juga kebudayaan Melayu umumnya). Di masa primordial dan sejarah kuno terutama, peran seorang tukang kaba sebagai “pencerita jalanan” cukup penting bagi masyarakat sezaman, sebagai penghibur orang-orang di masa lalu, di era pra-industri, sekaligus berperan sebagai “peramal” masa depan. Sejajar dengan tukang pantun Sunda di tanah Priangan, merekalah, dengan versinya masing-masing, yang menyambungkan masa lalu dengan masa kini hingga kisah-kisah yang mereka sampaikan (pesanan, ciptaan sendiri, atau gubahan) tetap lestari di masa depan. Dalam konteks novel yang kita bahas, tukang kaba merupakan penyambung alur  dan plot cerita novel, sejak era Negeri Tanah Pangkal Pulau Perca di masa yang samar-samar hingga medio abad ke-20 di masa Demokrasi Liberal dan setelahnya, di mana Nurselah dan Laya hidup sebagai korban “pergolakan”, langsung atau tidak. Ia pula, melalui saluang “saktinya”, yang menyulap kisah tragis Laya menjadi kisah yang diharapkan pembaca awam sekalipun.

Dan di tangan Pinto Anugrah, yang saya sebut tukang kaba modern ini, sastra hadir tanpa menanggung pesan-pesan normatif atau agitasi ideologis, bukan pula sebagai corong moralitas atau akhlak dalam koridor agama. Baginya, sastra merupakan medan untuk menafsir ulang penggalan-penggalan sejarah yang terpenggal dan gaung mitologi yang mendengung dari lorong masa lampau dengan cara yang lentur, anggun, serta elok berkelok-kelok. Ia bangunkan “roh-roh” masa lampau untuk dimaknai oleh kita, makhluk modern konsumen kuota dan pulsa, yang acap gagal memahami alam pikiran primordial nenek moyang bangsanya sendiri.[]

KOMENTAR

Pegiat sejarah. Personel band Veskil

You don't have permission to register