Fb. In. Tw.

Aktualitas, Cara Menembus Kompas

 

Banjir menjadi peristiwa menarik di awal tahun 2018. Peristiwa ini memang tak baru, tapi itulah yang membuat banjir menarik. Setiap musim hujan tiba, beberapa kota di Indonesia diterjang banjir. Mulai dari pusat hingga ke pinggiran. Semua orang membicarakan. Tak bosan-bosan.

Banjir bisa disebut peristiwa aktual di masyarakat. Media massa termasuk koran menjadikan banjir sebagai berita untuk disuguhkan pada masyarakat. Soal ini, kebanyakan berita selalu memuat informasi usang.

Kompas sebagai salah satu media massa tentu ambil bagian. Selain menjadi topik dalam pemberitaan, Kompas juga merespons banjir dengan menyiarkan cerpen yang mengangkat permasalahan banjir. Cerpen tersebut berjudul “Banjir Kiriman” karya Zainul Muttaqin (4/2/2018).

Perkara kesamaan peristiwa aktual dengan permasalahan dalam cerpen yang terbit di koran pernah dibahas oleh Nenden Lilis A. Menurutnya hal tersebut merupakan “keluhan terhadap cerpen koran pada tema dan latar permasalahan tertentu. Tema dan latar permasalahan yang dimaksud adalah masalah-masalah seputar peristiwa yang sedang terjadi (hangat, aktual), terutama yang menyangkut masalah-masalah politik”1. Meski tidak berlatar permasalahan politik, tapi “Banjir Kiriman” merespons peristiwa aktual.

Tentang peristiwa aktual ini, Budiarto Danujaya mengungkapkan bahwa “aktualitas tema ini memang terbukti merupakan salah satu pembatasan yang paling mempengaruhi redaktur cerpen”2. Bisa jadi aktualitas dalam cerpen “Banjir Kiriman” membuat cerpen tersebut terbit mengalahkan cerpen-cerpen lain. Selain merespons peristiwa banjir, Kompas juga pernah menyiarkan cerpen berjudul “Ida Waluh di Lereng Gunung Agung” (26/11/2017) yang mengangkat aktual peristiwa meletusnya Gunung Agung di bali.

Tantangan terbesar untuk cerpen dengan aktualitas peristiwa yaitu cerita mesti lebih menarik daripada berita. Cerpen “Banjir Kiriman” mesti lebih menarik daripada mobil yang tiba-tiba nyangkut di kali atau seorang karyawan toko terjatuh ke gorong-gorong lalu meninggal saat hendak menolong seorang yang terseret arus banjir. Memang tidak ada yang baru di bawah matahari yang sama, tapi selalu saja ada buah yang segar untuk kita nikmati di bawah matahari. Apakah “Banjir Kiriman” buah segar itu?

Siasat-siasat “Banjir Kiriman”
“Banjir Kiriman” bercerita tentang bencana banjir akibat jebolnya bendungan Sungai Campoan. Banjir merendam rumah-rumah warga. Satu-satunya tempat yang tidak diterjang banjir adalah masjid. Warga lalu mengungsi di masjid. Namun di akhir cerita, banjir tetap menerjang masjid tempat warga mengungsi.

Cerpen “Banjir Kiriman” sedari judul sudah membuat pembaca menduga peristiwa dalam cerita. Paling tidak peristiwa-peristiwa yang pasti muncul yaitu kebiasaan warga membuang sampah ke sungai dan pembangunan yang membuat sungai semakin sempit. Peristiwa-peristiwa tersebut juga muncul dalam cerpen, namun bukan jadi permasalahan utama.

“Banjir datang karena manusianya sendiri yang meminta. Sungai-sungai dipersempit. Sampah dibuang di sungai. Maka, ke mana lagi air itu akan mengalir jika tempat yang semestinya diusik.” Ucapan Kasno membuat Maksan merenung.

Sebagai pengarang, ZM sadar bahwa pembaca tidak akan tertarik membaca cerpennya jika bercerita tentang permasalahan buang sampah atau pembangunan. Belum lagi pemilihan judul cerpen tersebut tidak terlalu istimewa. Maka beberapa siasat ia lakukan.

Siasat pertama, ZM berupaya menggunakan teknik mendeskripsikan peristiwa lebih menarik. Dalam “Banjir Kiriman” ZM menggambarkan sesuatu dengan pemilihan diksi yang berima dan penggunaan gaya bahasa.

Hampir seminggu setelah hujan mengucur deras. Orang-orang mengungsi di masjid. Genangan air tak kunjung surut. Tingginya sepinggul orang dewasa. Banjir itu datang bersamaan dengan jebolnya bendungan Sungai Campoan. Tiap hari awan hitam membungkus permukaan langit, disertai gerimis tipis liris serupa helai-helai rambut. Mereka berusaha meredam cemas. Khawatir rumah yang ditinggalkan sudah diseret air bah.

Teknik pertama ini menawarkan penggambaran-penggambaran segar pada pembaca. Namun, teknik ini kadang jadi senjata yang membunuh ZM sendiri. Contohnya pada kalimat Hampir seminggu setelah hujan mengucur deras. Penggunaan kata mengucur kurang tepat jika dipadankan dengan kata deras. Selain itu pada kalimat Tiap hari awan hitam membungkus permukaan langit, disertai gerimis tipis liris serupa helai-helai rambut, ZM memaksakan penggunaan kata liris agar kalimat berima. Kalimat berima memang perlu dalam sebuah cerita untuk memberikan kesan pada pembaca, tapi jika meruntuhkan makna lebih baik dihindari.

Siasat kedua, ZM menghadirkan mitos dalam cerpen “Banjir Kiriman”. Mitos yang dihadirkan dalam cerita yaitu banjir selalu merenggut nyawa tiap tahunnya. Dua tokoh dalam cerita yaitu Kasno dan Maksan mengalami musibah itu.

“Apakah banjir memang kerap minta tumbal?” Maksan bertanya kepada Kasno. Tersenyum Kasno mendengar Maksan mengajukan pertanyaan serupa itu. Wajar Maksan melontarkan kalimat itu karena ia kerap menjadi saksi kematian warga setiap tahun, setiap kali banjir menghajar rumah mereka. Termasuk atas kematian ayah Kasno.

Namun, kehadiran mitos tidak begitu terasa. Penyebabnya adalah mitos tersebut hanya sekadar menjadi percakapan dan tidak menjadi permasalahan utama cerita.

Siasat ketiga adalah dengan memberikan penawaran lain atas permasalahan banjir. Biasanya banjir selalu dihubungkan dengan hubungan antara manusia dan lingkungan. Tawaran ZM adalah dengan menjadikan banjir sebagai masalah antara hubungan manusia dengan Tuhan. ZM dalam “Banjir Kiriman” seolah ingin menyampaikan bahwa agama tidak menyelesaikan masalah.

Untuk mengurai konsep tersebut, ZM menjadikan masjid sebagai tempat paling aman saat banjir melanda. Para pengungsi pun percaya jika Tuhan tidak mungkin menenggelamkan rumahnya sendiri. Namun, banjir tetap menenggelamkan masjid dan para pengungsi menjadi panik.

Siasat ini sangat menarik. Terdapat beberapa peristiwa yang mendukung permasalahan ini seperti tokoh Kasno dan Maksan yang ternyata baru berbincang saat mengungsi padahal mereka adalah tetangga. Namun, cerpen menjadi kabur karena banyaknya peristiwa lain yang tidak bertautan langsung.

Merespons aktualitas peristiwa jadi satu-satunya penyebab terkuat dimuatnya cerpen ini di Kompas. Selain beberapa kekurangan di atas, peristiwa-peristiwa “Banjir Kiriman” tidak mengarah pada makna yang ingin disampaikan. Kausalitas dalam cerpen ini kurang erat bertaut. Sebagai cerpen realis bersuasana ironi, kausalitas menjadi hal yang mesti hadir secara kuat.

Upaya-upaya itu ada, namun gugur dengan sendirinya. ZM pun sudah melakukan langkah tepat dengan melakukan siasat-siasat atas aktualitas peristiwa dalam cerpennya. Memang seperti itulah semestinya hal yang mesti dilakukan untuk menghadirkan cerpen atas peristiwa aktual. Hanya yang penting diperhatikan siasat tersebut jangan sampai membuat pembaca menjadi sesat. []

1Aisyah, N. L.. (2007). “Masa Depan Cerita Pendek Kita”. Membicarakan Cerpen Indonesia. Yogyakarta: Akar Indonesia.
2Danujaya, Budiarto. (1994). “Tentang Sastra Koran itu”. Lampor, Cerpen Pilihan Kompas 1994. Jakarta: Kompas.

KOMENTAR
Post tags:

Redaktur Umum buruan.co. Menulis puisi dan cerpen. Hobi menonton film.

You don't have permission to register