A.S. Dharta: Bekerjalah untuk Rakyat, Jangan Jadi Benalu!
Pada 7 Maret 1924, ia lahir di Desa Cikondang, Cianjur. Nama kecilnya Endang Rodji. Akan tetapi kelak ia menggunakan banyak nama untuk karyanya: Adi Sidharta, A.S. Dharta, Klara Akustia, Kelana Asmara, Rodji, Jogaswara, dan Barmara Putra.
Bersama M.S. Azhar dan Njoto, pada 17 Agustus 1950 A.S. Dharta mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dharta ditunjuk sebagai sekretaris jenderal (Sekjen) sekaligus redaktur Zaman Baru, penerbitan resmi milik Lekra.
Rangsang Detik merupakan satu-satunya karya A.S. Dharta yang sempat terbit. Kumpulan sajak tersebut diterbitkan oleh Lekra tahun 1957 dan dicetak ulang Penerbit Ultimus (Juli, 2010). Karya-karya lainnya tergabung dalam antologi puisi bersama sastrawan lainnya. Ada juga naskah drama Saidjah dan Adinda, adaptasi dari novel Multatuli Max Havelaar terjemahan Bakrie Siregar, yang pernah dipentaskan pada 1950-an. Novelnya, Keringat, tidak terselamatkan setelah dimusnahkan pemerintah militer Jepang.
Jika ia masih ada, 92 tahun usianya. A.S. Dharta seorang yang teguh pendirian. Jenis manusia yang tidak dapat diperintah. Membangunkan dan mempengaruhi sastrawan era 1950-an. Pergaulannya luas tetapi dia tak henti-hentinya mencari generasi muda terbaik. Pramoedya Ananta Toer, novelis tetralogi Bumi Manusia, satu di antaranya. Sastrawan besar itu wafat 7 Februari 2007 sekitar pukul 05.30 di rumahnya.
Berikut ini petikan wawancara Budi Setiyono dengan penulis yang dilakukan pada Minggu (6/3) melalui surat elektronik.
Bisa diceritakan secara singkat pekerjaan Anda?
Saya pengurus Yayasan Pantau (www.pantau.or.id) di Jakarta yang bergerak pada upaya meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia. Aktivitas saya di sana berkurang sejak saya, bersama beberapa teman, mendirikan majalah Historia (www.historia.id), yang mengangkat isu-isu sejarah. Di Pantau saya masih mengajar kelas penulisan. Di Historia saya menjadi redaktur.
Anda sangat dekat dengan A.S. Dharta dan menjadi teman bicaranya hingga di akhir hayat beliau. Bagaimana kedekatan Anda dengan A.S. Dharta?
Keluarga Dharta mengangkat saya sebagai anak. Ini sebuah kehormatan menjadi bagian dari keluarga ini. Juga sebuah kemewahan karena saya kemudian didapuk mengurusi karya-karya Dharta, yang sudah dibukukan maupun belum. Nah, setiap kali berkunjung ke Cianjur, saya pasti meluangkan waktu berdiskusi dengannya. Berapa lama, tergantung kondisi kesehatannya. Selama diskusi itulah saya tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengorek masa lalunya, terutama terkait Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di mana dia adalah salah satu pendirinya dan sekjen pertama.
Bagaimana awal mulanya?
Pertemuan terjadi secara kebetulan. Anaknya, Iratasti Sidharta, menghubungi saya setelah membaca buku Revolusi Belum Selesai, kumpulan pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara, yang saya sunting bersama seorang teman. Cetakan pertama diterbitkan tahun 2003 oleh Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass), lembaga nirlaba yang saya dirikan bersama teman-teman di Semarang. Dia sebenarnya menanyakan apakah saya tahu sosok Aini, istri pertama Dharta. Katanya, Aini pernah jadi sekretaris pribadi Sukarno dalam Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Dia kemudian menyebut nama Dharta dan mengajak saya berkunjung ke rumahnya di Cianjur. Dan sejak itulah saya rutin berkunjung ke sana, setidaknya sebulan sekali. Sosok Aini sampai sekarang masih samar-samar. Dharta sendiri tidak menyebut nama lengkap.
Apa saja yang Anda pelajari dari sosok A.S. Dharta?
Tidak banyak. Saya bertemu di masa senjanya dan sakit-sakitan. Tapi tampaknya dia selalu mendorong siapapun yang ditemuinya, termasuk saya, untuk kerja, berbuat sesuatu demi kepentingan rakyat. Di rumahnya, istrinya mengejewantahkannya dengan mengorganisasi orang-orang setempat dengan pengajian atau membentuk kelompok tani. Tentu saja saya lebih banyak menarik pelajaran dari apa yang sudah dilakukannya di masa lalu. Juga dari karya-karyanya.
Tahun 2010 terbit buku kumpulan esai Kepada Seniman Universal: Kumpulan Esai Sastra A.S. Dharta yang Anda kumpulkan. Bisa diceritakan bagaimana prosesnya?
Setelah saya mengenal keluarga Dharta, ada rencana menerbitkan ulang kumpulan puisi Rangsang Detik. Kabarnya, Pram sudah berpesan kepada anaknya agar menerbitkan karya-karya Dharta. Dua anak muda, yang juga kerap berkunjung ke sana, pernah mencoba tapi tak terealisasi. Saya lalu mengaambil-alih. Saya juga bikin pengantarnya. Setelah terbit, saya usul menerbitkan esai-esainya. Selama mengumpulkan esai-esai itu, saya dibantu Iratasti Sidharta dan beberapa rekan.
Kesulitan utama adalah mencari judul esai-esai Dharta. Ini tak mudah karena pasti ada banyak koran yang memuatnya. Selain itu, Dharta juga menggunakan banyak nama alias: Jogaswara, Klara Akustia, Adi Sidharta, dll. Kendati tak lengkap, saya baca buku-buku bibliografi untuk mencari tahu judul esai-esai Dharta. Misalnya karya Ernst Ulrich Kratz. Tapi kami putuskan untuk fokus membuka koran-koran atau majalah di Perpustakaan Nasional yang kemungkinan besar memuat karyanya, seperti Zaman Baru (koran resmi Lekra) atau Harian Rakjat dan Bintang Timur. Atau majalah sastra/kebudayaan macam Spektra dan Gelombang Zaman.
Kami bukan hanya mencari esai tapi juga karya lain berupa editorial (Dharta biasa menulis editorial Zaman Baru) atau puisi yang belum dimuat di Rangsang Detik. Bahkan berita-berita yang menyangkut Dharta, misalnya mengenai Universitas Kesenian Rakyat (Unsera).
Tidak semua esai yang kami kumpulkan saya masukkan dalam buku Kepada Seniman Universal. Sesuai judulnya, yang menyentil kelompok Manifest Kebudayaan, saya hanya memasukkan naskah bertema sastra dan kebudayaan, terutama terkait Lekra dan konsep berkeseniannya. Yang lainnya? Mungkin akan ada buku lain yang diterbitkan. Esai maupun puisi.
Apa arti karya-karya A.S. Dharta bagi Anda?
Bagi saya tidak ada. Tapi bagi dunia sasta Indonesia tentu amat berarti. Puisi-puisinya mungkin bukanlah yang terbaik di antara sastrawan Lekra. Tapi dari puisi-puisinya kita tahu satunya sikap dan perbuatannya; sebagai seorang seniman, aktivis buruh, dll. Esai-esainya membuka mata kita mengenai perdebatan dua gagasan besar yang tumbuh waktu itu, dalam iklim yang masih sehat, mengenai “seni untuk seni” atau “seni untuk rakyat”. Esai-esainya juga bagus untuk memahami sikap Dharta atau Lekra dalam berkesenian.
Apakah Anda punya rencana khusus untuk karya-karya A.S. Dharta?
Proyek pertama saya sejatinya adalah biografi Dharta. Sambil menyelam minum air. Jadi, selama proses penulisan biografi itu, saya menulis kata pengantar untuk buku-bukunya serta beberapa tulisan untuk berbagai keperluan yang saya muat di blog; dari obituari hingga sekadar kenangan semata. Biografi ini belum rampung. Kehidupan berkeseniannya nyaris lengkap. Tapi kiprahnya di dunia politik, terutama perburuhan, belum banyak saya dapatkan. Saya ingin bikin biografi yang “serius”. Ada kegairahan hidup tapi juga ada sisi kelam. Tak semata mengandalkan wawancara dengan Dharta tapi juga orang lain, kawan maupun lawan, dan juga arsip hingga catatan-catatan.
Apa yang Anda harapkan untuk karya-karya A.S. Dharta?
Dibaca, dipelajari, dan diletakkan pada konteksnya. Beberapa puisi Dharta, misalnya, dianggap bukan “sastra” karena penuh agitasi, propaganda. Ini juga berlaku bagi karya-karya Lekra. Tapi coba letakkan puisi-puisi itu pada konteksnya, semangat zamannya. Lihat misalnya ulasan dari Soebagyo Sastrowardoyo dalam bukunya Bakat Alam dan Intelektualisme, yang membandingkannya dengan karya-karya Taufik Ismail, dkk pada 1966. Soebagyo menyebut, sajak-sajak perlawanan Taufiq Ismail dan segenerasi tidak lebih tinggi nilai sastranya daripada yang dihasilkan Klara Akustia, dkk.
Jika masih ada, tanggal 7 Maret 2016 ini tepat 92 tahun usia A.S. Dharta. Apa yang paling Anda ingat dan berkesan? Apakah Anda punya rencana khusus di tanggal kelahirannya?
Tidak ada. Yang masih saya ingat adalah hari-hari terakhirnya, karena saya berada di sana, di sisinya. Dan saya ingat betul –ini menyedihkan sekali– betapa masih banyak orang bertanya, termasuk beberapa budayawan, soal apakah orangtuanya miskin atau dia orang yang rajin beribadah? Seolah-olah mencari pembenaran bahwa seorang komunis lahir dari keluarga miskin dan hidup tanpa kesalehan.
Dalam sebuah kesempatan, A.S. Dharta memberikan pekerjaan menerjemahkan novel Maxim Gorky, Ibunda kepada novelis Pramoedya Ananta Toer. Apa yang Anda lihat dari sikap baik tersebut?
Pertama, membantu teman yang lagi kesusahan, kondisi keuangan keluarganya memburuk. Kedua, saya rasa, untuk lebih mendekatkan Pram ke kelompok Lekra. Pada masa itu terjadi tarik-menarik antara kelompok satu dan kelompok lainnya, “memperebutkan” seniman-seniman terbaik.
Bagaimana kedudukan A.S. Dharta dalam kesusastraan Sunda sejauh yang Anda ketahui?
Saya belum mempelajari betul soal sastra Sunda. Tapi saya pernah menuliskan sedikit mengenai Dharta dan sastra Sunda ketika menanggapi tulisan Ajip Rosidi di koran Pikiran Rakyat. Dalam tulisan itu saya berharap Ajib membahas karya, ketimbang keburukan Dharta yang baru saja wafat. Karena dimuat di Pikiran Rakyat, saya fokuskan ke sastra Sunda. Saya kutip surat dari wartawan-cum-sastrawan Sunda Rachamatullah Ading Affandie (biasa disingkat R.A.F.) tertanggal 8 Januari 2001. Menurut R.A.F., Dharta-lah yang kali pertama mendeklamasikan sajak (bebas) Sunda. Sajak-sajak Kis. Ws, Afiatin, dan Kusnadi pernah dideklamasikannya dengan gaya modern. R.A.F. juga menulis, dalam perkembangan bahasa dan sastra Sunda setelah perang, Dharta tergolong orang yang mencintai bahasa dan sastra Sunda. Ia sejajar dengan Achdiat Kartamihardja, Utuy Tatang Sontani, Rusman Sutiasumarga, Rustandi, hingga Ajip Rosidi. Beberapa karya Dharta dimuat di Kantjungkundang; selain yang berserakan di sejumlah media. Kerja terakhirnya yang belum selesai adalah Kamus Bahasa Sunda-Indonesia, yang dia bikin untuk menyambut permintaan Atje Bastaman dan Moh. Kurdi alias Syarief Amin –keduanya tokoh Sunda dan pernah bekerja di Percetakan Sumur Bandung. Ada enam abjad terakhir yang belum dirampungkannya.
Anda sempat menulis bahwa pada tahun 1962, bersama Hendra Gunawan, A.S Dharta mendirikan Universitas Kesenian Rakyat di Bandung. Sepengetahuan Anda seperti apakah lembaga tersebut?
Universitas Kesenian Rakyat (Unsera) didirikan dengan tujuan mendidik dan menciptakan tenaga yang cakap untuk mengabdikan, mengembangkan, dan memajukan kesenian rakyat. Selain Dharta dan Hendra Gunawan, dewan pendirinya juga termasuk nama-nama sohor seperti Asmara Hadi, Banda Harahap, Basuki Resobowo, dan Utuy Tatang Sontani. Unsera membuka tiga akademi: Akademi Seni Rupa Raden Saleh, Akademi Seni Musik dan Tari Cornel Simanjuntak, serta Akademi Seni Drama Rukiah. Lama pendidikan tiga tahun, meliputi teori dan praktik. Artinya, hingga peristiwa 1965 meletus, belum ada lulusan Unsera. Jadi, belum bisa diukur seberapa berhasil lembaga ini.
Rangsang Detik merupakan kumpulan puisi A.S. Dharta yang di dalamnya Anda memberikan kata pengantar. Puisi apa yang paling Anda suka dari buku tersebut? Boleh dituliskan.
Ada beberapa. Tapi yang paling mengena di hati adalah “Rukmanda”.
Sebutkan segala penjara
dan itu adalah aku
Sebutkan segala badai
kepahitan pembuangan
kerinduan pada kecapi
kesunyian malam sepi
kenangan pada Priangan
dan kelayuan dari menanti
Aku yang telah menghitung
rangkaian detik
berpuluh tahun
aku serahkan segala
pada pesta perlawanan
selama ini jiwa remaja
setiap detak nafas nyawaku
dan kala itu juga diminta
aku nyanyikan “bangunlah kaum terhina”.
Aku kini tiada lagi
bersatu dengan bumi tanahair tercinta
tapi lagu aku tamatkan
bersama bintang seminar kelam
dengan debar jantung terakhir
yang melihat: fajar bersinar
kelahiran tunas penyambung keremajaanku
Sebutkan segala penjara
dan itu adalah aku
tapi sebutkan juga kesetiaan
kegairahan dan kepahlawanan
itulah aku!
Apakah ada kata-kata yang paling Anda ingat dari A.S. Dharta? Apa itu?
Dharta selalu mengingatkan saya untuk kerja, melakukan sesuatu yang berguna bagi rakyat-banyak. Antara lain dia mengatakan: ”Kamu bisa atau tidak mengorganisasi wartawan, seniman, mahasiswa. Bikin kelompok diskusi, bicarakan persoalan masyarakat. Kalau tidak bisa, berarti kamu sudah menjadi benalu!”[]